Beberapa waktu yang lalu aku menemukan sebuah majalah Tempo berjudul ‘Gie dan surat-surat yang tersembunyi’ di kamar Eka, teman satu apartment. Hari ini aku membaca buku ‘Soe Hok-Gie …. sekali lagi . Buku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya’.
Mempelajari tentang kisah hidup Gie membuatku kagum sekaligus malu pada diri sendiri. Ia aktivis, pejuang kemanusiaan, pendaki gunung dan juga seorang pria yang romantis. Yang membuatku kagum adalah usianya yang habis di angka 27 tahun tak sedikitpun ia sia-siakan, ia sudah berbuat banyak untuk bangsanya dan orang-orang di sekitarnya.
Aku yang sekarang sudah berusia 24 tahun rasanya belum berbuat apa-apa untuk Indonesia, jangankan untuk negara ini, membuat diri sendiri bangga dengan apa yang dilakukan pun, belum. Tapi tentu saja aku tak boleh membandingkan diri dengan Gie, karena ia terlalu istimewa.
Sikap Gie yang idealis, lantang, terbuka, kreatif, dan pintar membuatnya menjadi sosok yang luar biasa dalam banyak hal.
Oh Gie, kalau kamu masih hidup aku pasti sudah tergila-gila padamu.
Gie juga senang berdiskusi mengenai politik praktis, menuntut isu-isu mengenai ketidakadilan dan kemanusiaan.
Gie, kalau kau tahu betapa menjijikanya manipulasi politik saat ini aku yakin kau pasti sudah gelisah dan menggugat.
Gie meninggal dunia di puncak Gunung Semeru pada Desember 1969 karena menghirup gas beracun. Namun bagiku Gie tak pernah mati
#tulisanyangsayapublishdiblogbersamaduasahabatsaya